Al-Qur'an untuk Fatimah
Aku
memandangi foto keluarga dimana di dalamnya terdapat Ayah, Ibu, aku (Fatih) dan
Fatimah yang masih berusia 1 tahun. Sungguh sangat menyenangkan mengingat
kenangan saat itu, dimana Fatimah mulai berjalan, bisnis Ayah berjalan lancar
dan hangatnya pelukan ibu masih bisa ku dapatkan. Kini Ibu sudah pergi
mendahului kami, sekitar 5 tahun yang lalu saat aku berusia 10 tahun dan
Fatimah masih berusia 2 tahun. Akibat kecelakaan mobil, saat itu ayah mengalami
patah tulang di kakinya dan Ibu meninggal di lokasi kecelakaan. Aku yang
awalnya selalu bertanya pada Ayah ‘Dimana Ibu?’, akhirnya mulai mengerti bahwa
Ibu memang tidak akan kembali. Ibu pergi ke syurga dengan meninggalkan bekas
pelukan yang begitu hangat pada tubuh ku. Aku rindu Ibu. Sedangkan Ayah, akibat
kecelakaan tersebut kakinya mengalami patah tulang, hingga akhirnya Ayah
dipecat dari perusahaannya dan kini bekerja serabutan. Untungnya Fatimah anak
yang kuat, dia seolah mengerti dengan keadaan keluarga kami, ia tidak banyak
meminta dan menuntut. Fatimah anak yang rajin, ceria dan pandai mirip seperti
Ibu.
“Kak..
kak Fatih.. Fatimah berangkat ngaji duluyaa”, suara lembut Fatimah membuyarkan
lamunan ku.
‘Iya
dik, hati-hati yaa. Setelah selesai, segera pulang’, kata ku.
“Iya
kak, assalamu’alaikum”, pamit Fatimah.
‘Wa’alaikumussalam’,
jawab ku.
Sejak
kecil Fatimah memang sangat rajin mengaji, dulu kita mengaji bersama-sama tapi
sekarang keadaan mengharuskan ku untuk bekerja membantu Ayah untuk mencari
nafkah. Aku bekerja sebagai loper koran saat pagi hari dan sorenya aku membantu
mencuci piring di salah satu warung makan, Alhamdulillah meskipun bayarannya
tidak seberapa tapi bisa membantu meringankan beban Ayah.
Biasanya selepas maghrib aku pulang ke rumah,
sedangkan Ayah pulang sekitar jam 7 malam dan Fatimah selesai mengaji
jam 5 sore.
‘Assalamu’alaikum,
wah Fatimah rajin yaa.. Lagi mengerjakan pr untuk besok ya?’, sahut ku saat
memasuki rumah.
“Wa’alaikumussalam”,
terdengar jawaban Fatimah yang lesu, tidak seperti biasanya.
‘Kenapa
dik? PRnya susah ya? Sini kakak bantu’, namun Fatimah tidak menyahut dan hanya
mencoret-coret buku tulisnya.
‘Ada apa? Sini cerita sama kakak’, kata ku.
‘Ada apa? Sini cerita sama kakak’, kata ku.
“Hmm..
kak.. itu.. kalo Fatimah minta Al-Qur’an yang ada terjemahan dan tajwidnya
boleh kak? Fatimah mau belajar arti dan tajwidnya kak, seperti teman-teman yang
lain”, jawab Fatimah ragu-ragu.
Ternyata
Fatimah meminta Al-Qur’an, memang benar Al-Qur’an miliknya sudah sangat usang
dan ini adalah pertama kalinya Fatimah meminta sesuatu bahkan Fatimah tidak
pernah meminta uang jajan kepada ku maupun kepada Ayah.
‘Tentu
saja boleh sayang tapi Fatimah harus bersabar ya, kakak bakal ngumpulin uang
untuk belikan Al-Qur’an itu. Oke Fatimah? bisa janji untuk bersabar kan?’,
jawab ku sambil mengelus kepalanya.
“Iyaaa
kak, Fatimah janji akan bersabar. Makasih kak Fatihh”, sahutnya dengan penuh
semangat dan senyuman.
Setelah itu aku bergegas mandi dan
sholat Isya’ bersama Fatimah. Jam menunjukkan pukul 7.30 malam tapi Ayah tak
kunjung pulang. Sekitar jam 8.15 akhirnya Fatimah tertidur dan terdengar suara
ketukan di pintu depan.
Tok..
tok..
“Assalamu’alaikum
Fatih..”, terdengar suara Ayah memanggil.
‘Wa’alaikumussalam
Ayah, hari ini lembur lagi yah? Ini sudah Fatih buatkan teh hangat', jawab ku
sambil membuka pintu dan mencium tangan Ayah.
“Fatimah
dimana? Sudah tidur kah?”, tanya Ayah.
‘Iya
Ayah, baru saja Fatimah tertidur. Hmm.. gini yah tadi Fatimah cerita katanya
dia mau dibelikan Al-Qur’an yang ada terjemahan dan tajwidnya. Tapi setau Fatih
Al-Qur’an seperti itu mahal yah..', ucap ku dengan nada ragu.
“Alhamdulillah
Fatimah semakin rajin ngajinya, tenang saja nak nanti Ayah carikan solusinya.
Kamu lanjut belajar lagi saja, Ayah mau mandi dan istirahat dulu”, jawab Ayah.
‘Tidak
usah dipaksakan yah, Fatimah pasti mengerti. Ayah sudah makan? Di dapur masih
ada sedikit nasi dan telur untuk Ayah’, kata ku sambil berjalan menuju kamar.
“Iya
Fatih nanti setelah mandi akan Ayah makan”, jawab Ayah.
---- Keesokan harinya ----
Aku terbangun pukul 3 pagi, kemudian
menyiapkan keperluan untuk sekolah, keperluan Fatimah dan juga Ayah. Setelah
semua siap, sekitar jam 5 pagi akhirnya aku berangkat untuk mengantarkan koran
ke rumah-rumah.
‘Ayah..
Fatih berangkat dulu yaa, assalamu’alaikum', kata ku sebelum berangkat.
“Iya
nak, hati-hati yaa. Wa’alaikumussalam”, jawab Ayah.
Ketika
aku mulai mengayuh sepeda tiba-tiba rantai sepedaku putus dan aku merasakan
firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk tapi akhirnya aku singkirkan firasat itu dan kembali
menaruh sepeda di rumah kemudian berlari untuk segera mengantar koran-korannya.
‘Astagfirullah,
kenapa firasatku gak enak gini. Bismillah.. semoga ga terjadi apa-apa. Aku harus
buru-buru mengantar koran ini dan segera ke sekolah’, batinku.
Hari
itu berjalan seperti biasanya hingga akhirnya saat jam 10.30 seorang guru
memanggilku ke ruang guru dan mengatakan bahwa Fatimah masuk rumah sakit. Bergegas
aku izin untuk pulang lebih dahulu, ternyata di depan gerbang sekolah ada Ayah
yang sudah menunggu ku, kita bersama-sama pergi ke RS.
‘Ayah,
sebenarnya Fatimah kenapa?’, tanya ku pada Ayah.
“Ayah
juga tidak tahu nak, semoga Fatimah tidak apa-apa. Kita tunggu hasil periksa
dokter saja”, jawab Ayah mencoba menenangkan ku namun kekhawatiran Ayah tetaplah
terlihat dari raut wajahnya.
‘Permisi
pak, apakah bapak keluarga dari dik Fatimah?’, seorang dokter menghampiri kami.
“Iya
dok, saya Ayahnya. Anak saya kenapa ya dok? Dia baik-baik sajakan?”, tanya Ayah
penuh khawatir.
‘Maaf
pak, ternyata Fatimah mengalami kanker otak dan harus dirawat secara intensif
di RS’, kata dokter.
‘Innalillahi.. bagaimana mungkin
Fatimah seorang anak yang ceria dan selalu semangat memiliki kanker di otaknya?.
Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya, kakak macam apa aku ini’, batin ku.
Tiba-tiba
air mataku menetes, begitu juga dengan Ayah. Aku melihat Fatimah dari luar
pintu kamar RS, dia sedang berbaring, kata dokter biarkan Fatimah beristirahat
dulu. Akhirnya aku dan Ayah pergi ke masjid RS dan melaksanakan sholat Dzuhur.
Selepas sholat kami berdo’a penuh harap kepada Allah agar penyakit Fatimah
diangkat dan Fatimah bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.
Selepas
sholat ashar Ayah pergi ke bagian administrasi dan aku kembali ke kamar
Fatimah. Ternyata Fatimah sudah bangun dan sedang dilakukan pengecekan oleh
suster. Aku yang melihat Fatimah tiba-tiba menangis lagi, sungguh kasihan melihat seorang anak berusia 7 tahun harus menderita kanker otak.
“Kak
Fatih sini masuk, kok kakak di depan pintu saja? Kakak jangan menangis, Fatimah
gapapa kok. Kan kakak selalu bilang Fatimah harus jadi anak yang kuat, sekarang
Fatimah juga masih kuat kok. Kak, sebenarnya Fatimah sakit apa? Fatimah mau
ngaji sama teman-teman kak, kakak sudah belikan Al-Qur’an untuk Fatimah? Kalau
belum juga gapapa kok kak, Fatimah janji bakal bersabar”, kata Fatimah seolah
tidak membiarkan ku untuk menangis, namun karena mendengar itu tangisan ku malah semakin
menjadi.
‘Fatimah..
maafin kakak yaa. Kak Fatih gabisa jagain Fatimah, sampai kamu masuk RS tapi
Fatimah pasti sembuh.. harus sembuh ya Fatimah. Kakak janji secepatnya akan
membelikan Al-Qur’an untuk kamu, kamu harus cepat sembuh juga biar bisa ngaji
lagi sama teman-teman ya sayang’, jawab ku sambil menahan tangis.
“Kakak
jangan menangis lagi ya, kata guru mengaji Fatimah kalau kita punya masalah
sebaiknya kita mengaji karena Allah pasti membantu kita”, ucap Fatimah.
MasyaAllah
padahal kondisi Fatimah lah yang seharusnya dikhawatirkan tapi dia tetap
mengkhawatirkan orang lain. Sebisa mungkin aku menahan tangis ku di depan
Fatimah, aku tidak ingin terlihat lemah di depan Fatimah, aku harus kuat agar
Fatimah juga kuat melawan penyakitnya.
“Assalamu’alaikum..
aduh Fatih kenapa? Eh Fatimah sudah bangun ya”, sahut Ayah yang baru datang.
‘Wa’alaikumussalam.
Ayah gimana biaya pengobatan RS nya?’, tanya ku pada Ayah dengan sedikit
berbisik.
“Alhamdulillah
gratis karena sudah dijamin pemerintah”, jawab Ayah.
Alhamdulillah,
aku bingung jika tidak gratis bagaimana cara keluarga kami membayar biaya
pegobatan Fatimah. Kalau begini aku bisa fokus untuk mencari tambahan uang demi
membelikan Al-Qur’an untuk Fatimah.
---- 3 minggu berlalu ----
Setelah
3 minggu Fatimah di RS, ia sudah melakukan kemoterapi sebanyak satu kali.
Rambutnya sudah mulai rontok dan berat badannya jauh berkurang dari sebelum dia
masuk RS tapi kata dokter kankernya mulai mengecil setelah di kemo dan masih
ada kemungkinan kanker tersebut membesar lagi. Selama 3 minggu ini aku dan Ayah
sering menginap di RS, terkadang kita bergantian untuk menjaga Fatimah di RS.
Aku dan Ayah masih tetap sibuk bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Besok di sekolah ku ada ujian tengah
semester, jadi aku meminta Ayah untuk menjaga Fatimah hari ini namun sampai
sekarang, jam 8 malam, Ayah belum kembali ke RS padahal Ayah janji jam 5 sore
sudah sampai RS. Aku mulai khawatir dengan keadaan Ayah, apalagi Ayah
memutuskan mengambil semua pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. Akhirnya aku
putuskan untuk menunggu Ayah di RS untuk ujian besok aku masih bisa belajar di
pagi harinya sebelum berangkat mengantar koran. Sekitar pukul 9 malam ada
suster yang lewat kamar Fatimah di rawat.
Tok..
tok..
Saat pintu kamar rawat inap terbuka ternyata ada suster dan bibi tetangga samping rumah ku. Muka bibi terlihat sangat cemas, belum sempat aku bertanya kemudian bibi langsung mengatakan hal yang benar-benar tidak masuk akal.
Saat pintu kamar rawat inap terbuka ternyata ada suster dan bibi tetangga samping rumah ku. Muka bibi terlihat sangat cemas, belum sempat aku bertanya kemudian bibi langsung mengatakan hal yang benar-benar tidak masuk akal.
“Fatih,
Ayahmu kecelakaan”, kata bibi.
Tiba-tiba
perasaan ku seperti tersambar petir, aku langsung berlari menuju bibi dan
meninggalkan Fatimah yang sudah terlelap tidur.
‘Maksud bibi? Sekarang
Ayah dimana bi?’, tanya ku tidak sabar.
“Ayah
kamu kecelakaan saat menuju kesini sekitar jam 5 sore tadi. Begitu mendengar
kabar bahwa Ayah mu kecelakaan bibi langsung kesini untuk memberitahu kamu.
Fat..”, jawab bibi namun segera ku potong pembicaraannya.
‘Ayah
dimana bi? Baik-baik aja kan?’, tanyaku memastikan.
“Ayah
kamu sudah meninggal Fatih, Ayah kamu tertabrak ketika ingin menyebrang jalan.
Dan ini.. tadi polisi memberikan ini kepada bibi katanya ditemukan dekat jasad
Ayah mu”, jawab bibi sambil memberikan sebuah kertas dan bungkusan.
‘Gak
mungkin bi, gak mungkin. Ini pasti bohong kan? Ayah sudah janji akan kembali
kesini. Ayah dimana? Ayah.. ayahhh..’, aku mulai meronta-ronta dan terus
menanyakan bibi bahwa semuanya pasti bohong. Bibi dan suster RS tersebut mulai
menenangkan ku, karena takut membangunkan pasien yang ada disana akhirnya aku
di ajak ke lobby utama. Setelah aku mulai tenang, bibi mengatakan sesuatu
sebelum pergi,
“Fatih
yang kuat yaa, kuat untuk Fatimah. Fatimah butuh kamu. Untuk pemakaman Ayah mu
biar bibi dan warga yang akan membantu, sekarang sebaiknya kamu kembali ke
tempat adik mu. Besok pagi datanglah ke rumah untuk melihat keadaan Ayah mu.
Bibi pamit pulang ya Fatih”. Setelah itu aku ditinggalkan oleh bibi, aku
memandangi bungkusan dan sebuah surat yang bibi berikan kepadaku dan aku
membacanya.
Assalamu’alaikum.. Fatih dan Fatimah anak ku..Maaf selama ini Ayah tidak bisa menjadi Ayah yang bisa kalian banggakan dan andalkan. Banyak hal yang tidak bisa kita lakukan bersama karena Ayah terus bekerja, Ayah minta maaf karena tidak meluangkan sedikit waktu Ayah untuk kalian. Semoga kalian bisa memaafkan Ayah.Untuk Fatih, tetaplah menjadi seorang kakak yang kuat dan perhatian untuk Fatimah. Ayah tau kamu sangat melindungi Fatimah, jadi apapun yang terjadi janganlah bersedih dan menyalahkan dirimu sendiri. Ayah harap kamu terus mampu melindungi Fatimah ya, Fatih.Untuk Fatimah, Ayah sudah berusaha mengumpulkan uang untuk membelikan Al-Qur’an yang kamu inginkan sayang. Cepat sembuh yaa, supaya bisa mengaji bersama teman-teman Fatimah lagi. Fatimah anak yang kuat kan? Jadi Fatimah harus sembuh yaa. Fatimah juga harus jaga kak Fatih ya sayang. Cepat sembuh sayang supaya kita bisa berkumpul bersama lagi.Ayah sayang banget sama kalian, pasti Ibu juga sayang banget sama kalian. Ibu pasti juga sedang mendo’akan kita dari syurga. Wassalamu’alaikum.
- Ayah
Tak
terasa air mata ku menetes membacanya.
‘Ayah kita tidak akan berkumpul
bersama lagi yah... Ayah sudah menyusul Ibu, Ayah meninggalkan aku dan Fatimah
berdua di dunia ini. Ayah jangan pergi, aku masih butuh Ayah, Fatimah masih
butuh Ayah’, batin ku di dalam hati.
Aku mencoba untuk menguatkan diri,
seperti pesan Ayah aku harus kuat. Aku harus melindungi Fatimah apapun yang
terjadi. Aku masih punya Allah. Ibu dan Ayah dipanggil oleh Allah lebih dahulu
karena Allah sayang dengan mereka, aku tidak boleh bersedih agar Ibu dan Ayah
tidak khawatir. Akhirnya aku kembali ke kamar Fatimah setelah perasaan ku mulai
tenang.
---- Keesokan harinya ----
Pagi ini selepas sholat subuh aku
bergegas pulang ke rumah, Fatimah yang masih tertidur ku titipkan ke
suster yang ada di RS dan bungkusan serta surat dari Ayah ku letakkan di
samping tempat tidur Fatimah. Sesampainya di rumah aku melihat jasad Ayah untuk
terakhir kalinya. Aku sudah berjanji pada diri ku sendiri agar tidak menangis
di depan Ayah untuk yang terakhir kalinya. Rasanya hari itu terasa berat,
seolah aku bermimpi buruk, ingin rasanya aku cepat-cepat untuk bangun dari
mimpi ini. Tapi kehidupan haruslah tetap ku jalani.
Setelah semua proses pemakaman
selesai aku berterima kasih dan berpamitan kepada bibi untuk kembali menjaga
Fatimah. Ketika sampai di kamar Fatimah tidak ku dapati Fatimah disana, aku
mulai berlari menuju tempat resepsionis,
‘Maaf
bu, pasien yang bernama Fatimah di kamar 201 ada dimana ya bu? Apakah ada
jadwal pengecekan?’, tanya ku tergesa-gesa.
“Kamu
keluarga dari Fatimah? Maaf tadi kita mencari keluarganya tidak ada, jadi…”
‘Fatimah
dimana bu?’, tanya ku memotong.
“Fatimah
sudah meninggal dik, ini ada surat dan Al-Qur’an yang kami temukan di samping
tempat tidur Fatimah”, jawab suster tersebut sambil menyodorkan sesuatu.
Aku
membaca surat Fatimah, tulisannya sedikit berantakan sepertinya dia sangat
berusaha untuk menulis surat tersebut.
Assalamu’alaikum Ayah dan kak FatihAyah, aku udah baca surat Ayah dan sudah membuka kadonya, aku senang sekali Ayah. Terima kasih Ayah sudah memberikan Al-Qur’an yang sangat cantik ini untuk Fatimah. Fatimah akan sering-sering membacanya Ayah. Fatimah sayang Ayah meskipun Ayah dan kak Fatih sibuk tapi Fatimah tau semua itu demi Fatimah. Terima kasih Ayah, kak Fatih. Wassalamu’alaikum.Dari Fatimah.
Ternyata
ada dua surat yang ditulis oleh Fatimah, dan salah satu suratnya ditujukan khusus
untuk ku.
Assalamu’alaikum kak FatihKak Fatih terima kasih selama ini selalu jaga Fatimah. Kak Fatih, Fatimah dengar dari dokter yang merawat Fatimah. Kata dokter itu, Fatimah kemungkinan besar tidak bisa sembuh. Kakak tolong rahasiakan dari Ayah ya, kakak mau kan? Kak tolong jaga Ayah kalau Fatimah pergi lebih dulu. Kakak jangan sedih kalo Fatimah pergi, karena masih ada Ayah dan Allah yang selalu bersama kak Fatih.Kak Fatih, Fatimah takut mengecewakan Ayah yang sudah memberikan Al-Qur’an ini. Fatimah takut Al-Qur’an tersebut tidak terbaca, kakak mau ga membaca Al-Qur’an tersebut untuk Fatimah? Tadi pagi saat bangun tidur kakak dan Ayah sudah tidak ada, Fatimah merasa kepala Fatimah sangat sakit. Fatimah takut tidak sempat mengucapkan terima kasih, jadi Fatimah tulis surat ini untuk kakak dan Ayah.Kak do’a kan Fatimah yaa agar kepala Fatimah tidak terasa sakit lagi. Kakak harus janji rahasiakan dari Ayah soal perkatan dokter dan janji untuk membaca Al-Qur’an ini ya kak? Fatimah sayang banget sama kak Fatih dan Ayah. Wassalamu’alaikum.Dari Fatimah.
Aku
menangis sejadi-jadinya setelah membaca surat Fatimah. Maafkan kakak yang belum
sempat mengatakan bahwa Ayah sebenarnya sudah mendahului kita. Aku benar-benar
merasa kehilangan semuanya, Ibu, Ayah dan Fatimah semua pergi meninggalkan ku
padahal aku sangat membutuhkan mereka. Semua ini terlalu mendadak buat ku,
kepergian Ayah dan Fatimah yang bersamaan masih tidak dapat ku percayai. Aku
sudah berjanji tidak akan menangis lagi namun aku tidak mampu menahannya karena
kepergiaan Fatimah yang terlalu cepat dan Fatimah belum mengetahui bahwa Ayah
sudah meninggal.
---- Satu minggu kemudian ----
Setelah kepergian Ayah dan Fatimah,
aku memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja untuk memenuhi kehidupan ku.
Bibi bilang ada saudaranya yang tinggal di kota lain ingin mengadopsi ku, aku
masih belum memutuskan untuk pergi dengan saudara bibi tapi ku pikir aku harus
ikut dengannya. Aku harus bertahan hidup demi Ayah dan Fatimah, aku harus kuat
dengan semua yang ku alami, aku masih punya Allah dan aku masih memiliki janji
kepada Fatimah bahwa aku harus mengkhatamkan Al-Qur’an pemberian Ayah.
Rasanya
sudah lama sekali aku tidak membaca Al-Qur’an, mulai sekarang aku mengamalkan
untuk membaca Al-Qur’an setiap hari. Hal inilah yang menenangkan ku, seolah
semua keluh kesahku terangkat dan aku mulai mampu menerima semuanya, karena aku
yakin Allah bersama ku. Allah tidak akan mengambil sesuatu dari hamba-Nya tanpa
menggantinya dengan yang lebih baik dan Allah tidak akan memberi cobaan yang
tidak mampu dihadapi oleh hamba-Nya.
Ibu,
Ayah terima kasih karena selalu merawat dan memberikan kasih sayang pada ku.
Fatimah terima kasih karena mengingatkan ku untuk selalu mengaji, kini aku tau
kamu selalu ceria karena kamu percaya Allah bersama dengan mu. Ibu, Ayah,
Fatimah.. aku janji akan hidup dengan baik. Izinkan aku untuk ikut dengan
keluarga yang akan mengadopsi ku, keluarga terbaik ku tetaplah kalian. Aku
sayang kalian.
------- Tamat
-------
Komentar
Posting Komentar