Hilangnya George dan Terbitnya Rumah Baca
Aku suka buku, sangat menyukai hampir-hampir temanku hanyalah tumpukan buku. Untunglah ada paman George yang menjadi temanku selain buku. Aku menyukai buku setelah bertemu dengan paman George sekitar 2 tahun yang lalu saat umurku 8 tahun.Seperti biasa, hari ini aku ingin ke rumah paman George, dia memiliki banyak buku-buku fiksi di dalam rumahnya. Menurutku rumahnya bagaikan harta karun. Rumah tua dengan ornamen-ornamen antik dan jarak yang cukup jauh dari rumah warga lain membuatku berpikir bahwa rumah paman George memang peninggalan dari leluhurnya. Aku banyak menghabiskan sore hariku di sana ketika anak-anak lain yang seumuran denganku bermain di lapangan.
“Hari ini sangat cerah, aku harus bergegas ke rumah
paman”, pikirku.
Dari sudut jalan paman George melambai-lambai padaku
dengan membawa sebuah buku di tangannya, seolah-olah mengatakan “Cepat kau anak
muda, buku ini sangat seru!”.
Melesat ku secepat mungkin.
“Hai paman, rambut putihmu semakin banyak hari ini”,
sapaku pada lekaki tua itu.
Dia hanya tersenyum dan menyodorkan buku bersampul coklat,
sampul yang sangat cantik untuk sebuah buku yang kertasnya telah menguning.
Tanpa basa-basi aku segera membacanya, ya aku memang mempercayakan paman
memilihkan koleksi bukunya untuk ku baca.
Setelah 3 jam aku terhanyut dengan
cerita buku tersebut akhirnya aku berpamitan pulang dan berjanji akan kembali
esok hari. Paman George hanya menyimpulkan bibirnya tanda menyutujui.
Akhir-akhir ini paman George memang tak banyak bicara, ketika aku membaca pun paman
hanya duduk di pelataran sambil meminum secangkir teh. Berbeda sekali dengan saat
pertama kali aku bertemu dengannya di toko buku. Paman menceritakan banyak
kisah dan mengajakku berkunjung kerumahnya karena berkata ia memiliki banyak
koleksi buku, beruntungnya aku dulu mengiyakan ajakannya.
“Ah.. Ibu, aku pulang”, ternyata aku sudah sampai di
rumah, sungguh karena memikirkan paman George aku jadi tidak sadar jika sudah
sampai rumah.
============================
Esok harinya ketika ingin ke rumah paman
George tiba-tiba ibu melarang
“Ren, kau ingin pergi kemana? Minggu lalu kau sudah
berjanji akan ikut ke rumah bibi Maria”, cegah ibu sebelum aku pergi.
“Ah iya bu, maaf aku lupa tapi boleh kah aku
mengabarkan pada paman George bahwa aku ingin ke tempat bibi Maria?”, sahutku.
“Tidak perlu, kau masih saja pergi ke tempat tak
jelas itu. Sudahlah siapkan pakaianmu, 15 menit lagi ayah pulang dan kita akan
segera ke tempat bibi Maria”, jawab ibu dengan tegas.
“Baik bu..”, sahutku dengan tidak bersemangat. “Ah
bagaimana ini? Aku belum sempat mengatakan pada paman George padahal kemarin
aku sudah berjanji untuk menemuinya. Hmm.. sebaiknya aku memberikan oleh-oleh
sepulang dari rumah bibi Maria, pasti ia akan memaafkanku”, aku berkata dalam
hati.
------- 3
hari kemudian -------
Ternyata tidak buruk juga selama
bermalam di rumah bibi Maria, karena anak bibi yang tertua memiliki beberapa
buku untuk ku baca. Aku jadi memikirkan paman George, apakah dia menungguku di
sana? Aku menyesal karena tidak sungguh-sungguh saat meminta ibu untuk
berpamitan ke paman George. Seharusnya aku berlari kesana dan mengabarkan bahwa
aku akan ke rumah bibi Maria.
“Ahh tak apa, lagi pula besok aku sudah kembali ke
rumah dan aku akan meminta maaf pada paman. Rasanya aku benar-benar merindukan
pak tua dan buku-bukunya hehe, sebaiknya aku bergegas tidur dan besok sore ke
rumah paman untuk memberikan oleh-oleh ini dan melanjutkan buku bacaan yang
terakhir kali ku baca”, pikirku.
============================
“Karena aku sampai di rumah malam hari akhirnya aku baru
bisa mengunjungi paman George hari ini, pasti dia sangat merindukan ku dan
sebagai permintaan maafnya aku sudah menyiapkan oleh-oleh ini untuk paman”,
ucapku dalam hati.
Sesampainya aku di halaman rumahnya tak kudapati
lambaian tangan paman George, sepertinya dia tidak mengira bahwa aku akan
datang.
“Paman.. (tok tok) Paman George aku masuk yaa”, tak
ada jawaban dari paman.
Kriett.. Uhh lantainya sangat kotor sepertinya paman
belum menyapu lantai karena paman memang tinggal sendiri di rumah tersebut. Aku
mencari-cari paman di sekeliling perpustakaan mininya namun tak ada siapapun.
Akhirnya aku mencari di ruangan lain dan betapa terperanjatnya aku ketika
melihat seseorang tergeletak di dapur.
“Pa.. paman.. paman George? KAU KAH ITU?” teriak ku.
Aku goyang-goyangkan tubuhnya namun
paman tidak bereaksi. Setelah ku amati ternyata banyak lalat di sekitar tubuh paman,
beberapa bagian tubuhnya membiru dan mengeluarkan bau tidak sedap. Aku berjalan
mundur, seolah tak percaya dengan apa yang ku lihat. Aku berlari ke arah
telepon dan segera menghubungi polisi.
Tidak lama akhirnya suara sirine datang
dan ku lihat banyak orang yang mencari tahu apa yang sedang terjadi. Saat itu
tiba-tiba aku marah. Aku tak tahu kenapa namun aku meracau, menumpahkan kesedihan
dan amarahku pada orang-orang itu.
“Kenapa kalian tidak ada yang tau kondisi paman?
Bukan kah kalian tetangganya? Tidak pedulikah kalian pada orang tua seperti
itu? DIMANA KALIAN HINGGA PAMAN SEPERTI INI?”, setelah aku berbicara seperti
itu orang-orang hanya menatapku dengan tatapan aneh dan aku mulai menangis.
Andai saja aku tidak ke rumah bibi
Maria, andai saja aku datang seperti hari-hari sebelumnya, aku pasti tahu
keadaan paman tapi kenapa aku juga tidak menyadarinya ketika paman mulai tidak
banyak berbicara. Seharusnya aku menanyakan kesehatannya bukan hanya membaca
buku-buku miliknya saja. Aku mulai menyalahkan diriku sendiri atas kematian paman
George.
“Nak, apa
kakek ini saudara mu? Kami mohon maaf tapi kakek ini sepertinya meninggal
sekitar 3 hari yang lalu. Kemungkinan disebabkan karena serangan jantung, kami
akan membawa jasadnya ke rumah sakit untuk pemeriksaan,” kata polisi begitu
keluar dari rumah paman.
Aku
tertunduk lesu mendengar keterangan dari polisi, kalau saja hari itu aku pergi
ke rumah paman, pasti paman tidak akan seperti ini
“Huhuu.. paman maafkan aku. Maafkan aku yang terlalu
egois. Maaf karena aku tidak datang hari itu. Maafkan aku, maafkan aku paman”,
aku meracau di pelataran rumahnya.
Saat itu aku hanya bisa menangis melihat
polisi membawa jasad paman, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus
kuperbuat. Orang-orang yang tadinya hanya melihat dari luar pagar mulai
mendekatiku dan menenangkanku. Aku benar-benar terpukul atas kematian paman,
satu-satunya teman terbaikku selama 2 tahun terakhir pergi meninggalkanku tanpa
sepatah kata dan aku belum sempat meminta maaf padanya karena tidak menepati
janji dengannya.
------- 2
bulan berlalu -------
Satu bulan setelah pemakaman paman, aku masih
mengunjungi rumah itu setiap hari sekadar untuk merawatnya dan sesekali
mengenang kebersamaan dengan paman. Hingga pada suatu hari ada seorang investor
yang datang ke rumah paman dan tertarik dengan perpustakaan mini di rumah paman.
Investor tersebut menawarkan untuk menjadikan rumah paman sebagai rumah baca,
karena memang tidak ada keluarga paman yang dapat dihubungi akhirnya investor
tersebut meminta persetujuanku. Dulu paman George pernah bercerita bahwa ia
ingin membuat rumahnya menjadi perpustakaan jadi menurutku tidak ada salahnya
jika aku menerima tawaran itu.
Akhirnya setelah satu bulan perbaikan
dan perluasaan ruang baca, hari ini rumah paman diresmikan menjadi ‘Rumah Baca
George’. Semoga paman bisa melihat bahwa impian terbesarnya sudah terwujud
meskipun hal tersebut terjadi ketika paman George tidak ada lagi di dunia.
Semakin hari rumah baca ini semakin
ramai dengan pengunjung. Bahkan terdapat beberapa kedai makanan dan minuman
bagi pengunjung ‘Rumah Baca George’. Sekarang rumah paman tidak lagi sepi dan
bukan hanya aku saja yang menikmati buku-buku koleksi paman namun orang lain
juga dapat menikmatinya. Aku pikir menjadikan rumah paman sebagai rumah baca adalah
keputusan yang tepat, semoga paman bahagia atas keputusanku.
“Setidaknya buku-buku mu tak lagi kesepian karena
kehilangan pemiliknya. Terima kasih paman George untuk semua pengalaman ini,
aku berjanji saat sudah dewasa nanti aku yang akan mengelola rumah baca ini”.
ucapku dalam hati.
------- Tamat
-------
Komentar
Posting Komentar